Selasa, 15 Desember 2009

Keluarga Berencana (KB)

BAB II
KELUARGA BERENCANA (KB)

A. KELUARGA BERENCANA (KB)
Bangsa Indonesia sejak dari proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 sampai saat ini dan masa mendatang, berusaha untuk memakmurkan masyarakat yang berkeadilan sosial dan merata.
Untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur tidaklah begitu mudah. Banyak kendala yang dihadapi, sehingga pelaksanaan pembangunan tidak berjalan mulus.
Suatu pembangunan memerlukan modal, sarana, tenaga terampil yang berkualitas, wawasan luas dan masih banyak lagi. Dalam situasi yang semacam ini, bangsa kita juga dihadapkan kepada persoalan yang cukup rawan, yaitu menghadapi kepadaan penduduk yang terus melaju dari tahun ketahun. Kalau penduduk sudah banyak, maka timbul lagi pemikiran baru, yaitu bagaimana cara mendidiknya dan bagaimana pula menyediakan lapangan kerjanya, belum lagi bicara tentang perumahan, pangan, kesehatan, keamanan, dan masih banyak lagi keperluan hidup dari suatu bangsa. Lebih-lebih lagi pada zaman sekarang ini, keperluan hidup bertambah banyak, sejalan dengan perkembangan teknologi yang berkembang pesat.
Dengan Demikian terjadi, antara keperluan dan persediaan yang tidak berimbang, terutama keperluan pokok, atau mungkin saja persediaan ada dan memadai, tetapi tidak terjangkau oleh anggota masyarakat.
Pasangan muda yang ingin memiliki anak, saat ini tentu harus memperhatikan banyak hal, seperti bagaimana kesehatannya, pendidikan serta masa depannya kelak. Semua itu berkaitan dengan faktor ekonomi, yakni beban biaya yang harus dikeluarkan.
Permasalahan mendasar seperti di atas, bukannya tidak diambil pusing oleh pemerintah. Sebagaimana diketahui, sejak 1970, program Keluarga Berencana (KB) Nasional telah meletakkan dasar-dasar mengenai pentingnya perencanaan dalam keluarga. Sejak tahun 1973 Keluarga Berencana (KB) sudah dicantumkan dalam GBHN dan mutlak harus dilaksanakan, dengan ketentuan pelaksanaannya harus dengan cara sukarela dan dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama. Intinya, tentu saja untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang berkaitan dengan masalah dan beban keluarga jika kelak memiliki anak.
Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar dan utama bagi wanita, meskipun tidak selalu diakui demikian. Peningkatan dan perluasan pelayanan keluarga berencana merupakan salah satu usaha untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu yang sedemikian tinggi akibat kehamilan yang dialami oleh wanita. Banyak wanita harus menentukan pilihan kontrasepsi yang sulit, tidak hanya karena terbatasnya jumlah metode yang tersedia tetapi juga karena metode-metode tertentu mungkin tidak dapat diterima sehubungan dengan kebijakan nasional KB, kesehatan individual dan seksualitas wanita atau biaya untuk memperoleh kontrasepsi (Depkes RI, 1998).
Pertanyaan besar kemudian muncul ketika program KB yang dilancarkan pemerintah tersebut bersinggungan dengan segi kehidupan beragama yang mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam. Sebenarnya sebelum bangsa Indonesia mencanangkan KB itu, dari dahulu masalah inipun sudah menimbulkan pro dan kontra ( setuju dan tidak setuju ) dengan argumentasi (dalil) masing-masing.

B. PANDANGAN AL-QUR’AN
Dalam al-Qur’an Allah berfirman :




“Dan hendakah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab iu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (an-Nisa :9)

ayat tersebut diatas memberi petunjuk kepada manusia agar supaya setiap keluarga (orang tua) memikirkan masa depan anak cucunya, jangan sampai menjadi generasi yang lemah fisik dan mentalnya. Lemah fisik, biasanya karena kurang pangan (gizi) dan karena perawatan kesehatan tidak sempurna. Lemah mental bisa karena kurang pendidikan agama. Jadi keperluan anak dalam bidang materiil dan spiritual harus seimbang, supaya masyarakat yang ditinggalkan oleh orang tua, adil dan makmur dan mendapat ridha dari Allah SWT.
Selaku muslim mendambakan, disamping sejahtera diakhirat, juga sejahtera didunia, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah :



“Dan diantara mereka ada yang berdoa : “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan didunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksaan neraka” (al-Baqarah : 201)
Orang akan mendapat kebaikan di dunia dan akhirat, apabila terpenuhi keperluan hidupnya dalam bidang materiil dan spiritual. Persyaratan untuk meraih bidang materiil dan spiritual itu, cukup banyak dan memerlukan ketekunan.
Agar manusia berbuat seimbang, idak berat sebelah, Allah memberi petunjuk dalam firman-Nya :



“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (al-Qashas : 77)
Mengenai perawatan anak dan penyusuan bayi, Allah juga telah memberi petunjuk kepada manusia dalam al -Qur’an surat al-Baqarah ayat 233, surat al-Ahkaf ayat 15
C. PANDANGAN AL-HADIST
Dalam Hadist Nabi disebutkan :


Sesungguhnya lebih baik bagimu, meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan daripada meninggalkan mereka menjadi beban/tanggungan orang banyak. (HR. Muttafaq Alaih).
Dari hadist tersebut dapat dipahami, bahwa suami istri sepantasnya mempertimbangkan tentang biaya rumah tangga selagi keduanya masih hidup dan sepeninggalnya nanti. Jangan sampai sianak menderita, apalagi menjadi beban orang lain. Dengan demikian, pengaturan kelahiran anak hendaknya dipikirkan bersama oleh suami istri.
Nabi bersabda :



Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih disukai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah (HR. Muslim).
Untuk menjadikan keluarga dan anak keturunan bermutu, perlu tersedia dana, sarana, kemampuan, dan waktu yang cukup untuk membinanya. Hal ini pun memberi isyarat, berapa sebenarnya jumlah keluarga yang pantas dalam suatu rumah tangga,sehingga mudah membinanya.
Dalam Hadist lain disebutkan :



Diriwayatkan dari Jabir ra, ia berkata : Kami melakukan a’zal (coitus interuptus) di masa Rasuullah SAW. Pada waktu ayat-ayat a-Qur’an masih diturunkan ( dan tidak ada satu ayat pun yang melarangnya) (HR. Muttafaq Alaih)
Pada Hadist lain disebutkan :






Diriwayatkan dari Jabir ra, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah seraya berkata : “Sesungguhnya kami mempunyai jariyah (budak). Ia adalah pelayan dan pengambil air kami/penyiram kami. Saya ingin melakukan hubungan sex dengan dia, tetapi saya tidak ingin dia hamil. Lalu Nabi bersabda: “Lakukanlah a’zal (coitus interuptus) padanya jika engkau kehendaki. Sesungguhnya apa yang ditakdirkan Allah padanya pasti akan terjadi”. Kemudian laki-laki itu pergi, datang lagi sesudah berselang beberapa waktu dan berkata kepada Nabi : “Sesungguhnya jariyah saya sudah hamil”. Kemudian Rasulullah SAW. bersabda. “Bukankah sudah saya katakan kepadamu, bahwa apa yang sudah ditakdirkan Allah padanya pasti terjadi” (HR. Muslim).
Kedua hadist tersebut, menjelaskan bahwa a’zal yang diakukan dalam usaha menghindari kehamilan dapat dibenarkan oleh Islam. Suatu upaya belum tentu berhasil sebagaimana yang dikehendaki, sebagaimana yang diceritakan dalam hadist tersebut, bila Allah menghendaki, pasti hamil juga. Begitu juga dengan KB yang dilakukan dalam usaha menghindari/mengatur kehamilan belum tentu berhasil. Berdasarkan pengalaman orang yang menjalankan KB, bahwa orang yang menggunakan kondom dan spiral pun adakalanya hamil juga.

D. PANDANGAN ULAMA-ULAMA ISAM
Mengenai keluarga berencana atau setidak-tidaknya mencegah kehamilan sebelum “Keluarga Berencana” dikenal sekarang ini dahulupun ada di antara ulama yang membolehkannya dan ada pula yang tidak membolehkannya.
a. Ulama-ulama yang mebolehkan
1. Imam al-Ghazali
Dalam kitabnya, “Ihya ‘Ulu muddin” dinyatakan, bahwa a’zal (coitus interuptus) tidak dilarang, karena kesukaran yang dialami si ibu disebabkan sering melahirkan.
motifnya antara lain :
 Untuk menjaga kesehatan si ibu, karena sering melahirkan
 Unuk menghindari kesulitan hidup, karena banyak anak
 Untuk menjaga kecantikan si ibu
2. Syekh al-Hariri (Mufdi Besar Mesir)

Syekh al-Hariri berpendapat, bahwa menjalankan KB bagi perorangan (individu) hukumnya boleh dengan ketentuan :
o Untuk menjarangkan anak
o Untuk menghindari suatu penyakit, bila ia mengandung
o Untuk menghindari kemudharatan, bila ia mengandung dan melahirkan dapat membawa kematiannya (secara medis)
o Untuk menjaga kesehatan si ibu, karena setiap hamil selalu menderita suatu penyakit (penyakit kandungan)
o Untuk menghindari anak dari cacat fisik bila suami atau istri mengidap penyakit kotor

3. Syekh Mahmud Syaltut

Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa pembatasan keluarga ( ) bertentangan dengan syariat Islam. Sedangkan pengaturan kelahiran ( ) menurut beliau tidak bertentangan dengan syariat Islam. Umpamanya menjarangkan kelahiran karena situasi dan kondisi khusus, baik yang ada hubungannya dengan keluarga yang bersangkutan maupun ada kitannya dengan kepentingan masyarakat dan Negara. Alasan lain yang membolehkan adalah suami atau istri mengidap suatu penyakit yng berbahaya yang dikhawatikan menular kepada anaknya.


b. Ulama-ulama yang melarang

1. Pof. Dr. M.S. Madkour Guru Besar Hukum Islam pada fakultas Hukum, dalam tulisannya : Islam and Family Planning” dikemukakan antara lain : “bahwa beliau tidak menyetujui KB jika tidak ada alasan yang membenarkan perbuatan itu. Beliau berpegang kepada prinsip : “Hal-hal yang mendesak memebenarkan perbuatan terlarang”.
2. Abu ‘Ala al-Maududi (Pakistan)
Al-maududi adalah ulama yang menentang pendapat orang yang membolehkan pembatasan kelahiran. Meurut beliau Islam adalah suatu agama yang berjalan sesuai denngan fitrah manusia. Dikatakannya : “Barang siapa yang mengubah perbuatan Tuhan dan menyalahi undang-undang fitrah, adalah memenuhi perintah setan”. Setan itu adalah musuh manusia. Beranak dan berketurunan itu adalah sebagian fitrah tersebut menurut pandangan Islam. Salah satu tujuan utama dari pekawinan itu ialah mengekalkan jenis menusia dan mendirikan suatu kehidupan yang beradab.

Adapun dalil-dalil yang digunakan para ulama yang pada pinsipnya menolak program KB. Diantaranya adalah Firman Allah :




……. dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka ......... (al-An’am: 151)
Firman Allah :






Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuih mereka adalah suatu dosa yang besar (al- Isra’ :31)

Sabda Rasulullah SAW.




Kawinilah wanita yang mempunyai sifat kasih sayang dan banyak anak, karena sesungguhnya aku berbangga denngan banyaknya kamu dengan umat-umat yang lain (hadist dikeluarkan oleh Abu Daud dan An Nasai)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar